Senin, 01 September 2014

Untuk Apa Aku MENGELUH?

Kehidupan ini perlu kita jalani. Dengan keikhlasan, dan percaya akan semua rencana Allah SWT. Ya, cepat atau lambat setiap orang pasti akan merasakan beratnya mengalami sebuah perubahan. Apalagi sesuatu yang berubah dari zona nyaman kehidupan selama ini, lalu berputar kepada kehidupan yang bisa dibilang tidak kita inginkan.
    Lalu, apa yang harus kita lakukan saat hal itu harus kita alami, dan harus kita jalani? Mengeluh? Memang, aku rasa pada awalnya kita akan mengeluhkan apa yang tengah menimpa kehidupan kita. Tentu saja, sesuatu hal yang tidak kita inginkan malah terjadi kepada kita. Kita punya Allah yang Maha Kuasa. Ia maha Menghendaki. Kita hanya perlu percaya bahwa inilah suatu lika-liku hidup. Inilah suatu ujian untuk kita agar menjadi pribadi yang lebih dewasa lagi. Dapat menyikapi berbagai macam perubahan yang mendera kita.
    Pepatah selalu mengatakan bahwa jalan tak selamanya lurus. Bumi selalu berputar. Tidak semua yang kaya selamanya akan menjadi kaya, begitupun sebaliknya. Jika kita mempercayai sebuah takdir Allah, maka apapun itu akan kita alami dan akan kita jumpai dalam hidup ini.
    Perih memang. Tentu sangat berat pada mulanya. Akupun sama, demi menjadi pendobrak mimpi yang selama ini aku impikan, aku harus mengalami sebuah fase yang sangat membuatku lelah. Ya, aku lelah merindukan sosok-sosok penyemangat hidupku yang hampir, bahkan setiap hari dapat kulihat parasnya. Aku sangat merindukan sosok kedua orangtuaku, adikku, dan sahabat-sahabatku. Kami harus terpisahkan oleh jarak dan keadaan.
    Awalnya kurasa sanggup, kurasa kita memang harus siap menjalaninya, mewujudkan mimpi agar dapat memberikan senyuman kebahagiaan atas rasa bangga mereka terhadapku. Namun baru beberapa hari saja, aku sudah merasa lelah dengan keadaanku sekarang ini.
    Bukan, bukan menyerah saat belum berjuang. Aku sangat ingin meraih mimpi itu, aku siap belajar sungguh-sungguh dibangku perkuliahan ini. Tidak tahu siapa yang patut disalahkan. Aku rasa ini berawal dari kehidupan kami yang amat sangat berbeda. Aku tak menduga awalnya, aku rasa kami dapat menjadi partner yang baik dan kompak. Namun baru beberapa hari saja, aku merasa tidak sanggup untuk menjadi partnernya.
    Untuk pertama kali aku bersabar, sampai pada titik terlelah tepat saat aku merasa lelah sepulang dari acara Briefing Masa Pengenalan Akademik di Universitas Negeri Jakarta. Aku tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa lagi selain berdoa, memohon, dan meminta pertolongan Allah setiap setelah melakukan sholat lima waktu untuk perubahan itu. Aku butuh tempat untuk mencurahkan isi hatiku. Mencurahkan suatu kejanggalan yang semakin hari semakin menggondok didalam batin.
    Mau tidak mau, aku menceritakan keluhanku kepada orangtua dan sahabatku. Sama sekali tidak berniat untuk membuat mereka resah akan keadaanku. Dan bukan untuk membiarkan pikiran mereka tak karuan hanya karena mereka mengetahui anaknya atau sahabatnya selama ini memendam suatu masalah yang memang butuh seseorang untuk dapat mensupportnya. Meskipun hanya melalui pesan singkat, aku mencoba mengeluarkan isi hatiku kepada mereka. Dan meskipun hanya dari kejauhan, aku merasakan kasih sayang itu yang semakin membuatku merindukan sosok mereka, membutuhkan sosok mereka. “Sabarlah, Allah sayang orang-orang yang sabar. Anggap ini cobaan, kamu harus menghadapinya dengan ikhlas. Katakan saja sejujurnya, kamu tidak boleh tinggal diam.”
 “Bapak doain, semoga teteh diberi kekuatan dan kesobaran. Anggap aja teman itu ujian awal sebagai mahasiswa BK UNJ. Teteh juga harus tegas, jangan selalu mengalah. Oke? Ingat, masa BK gitu?”
Pagi hari saat berkumpul dihalaman kampus B untuk melaksanakan Opening Masa Pengenalan Akademik kujumpai pesan tersebut. Aku hanya tersenyum, dan melanjutkan kegiatanku.
    Sepulang dari acara tersebut, kudapati panggilan telepon dari Bapak. Aku tak kuasa untuk menahan airmata ini jatuh, namun rasa maluku jauh lebih besar sehingga air mata itu tidak jadi menetes. Kata-kata yang ia kirimkan lewat sms semalam kudengar secara langsung. Akupun menjawab bahwa aku belum mempunyai ilmu untuk dapat mengatasi sikap seseorang yang berbuat salah dan tidak dapat beradaptasi pada lingkungannya yang baru. Mengatasi seseorang yang selalu memikirkan dan merasa dirinya masih sama dengan dirinya yang dulu, padahal keadaan kami sudah saling berbeda. Dan seharusnya kami bersatu, belajar bersikap dewasa satu sama lain, dan belajar mandiri. Yang terpenting, kami harus mempunyai satu tujuan yang sama.
    Ah sudahlah, untuk apa aku mengeluh? Aku punya Allah, aku percaya akan takdir Allah. Aku yakin Allah mendengar doaku, dan suatu saat nanti akan ada jalan keluarnya. Aku juga masih punya orangtua, dan sahabatku yang selalu ada dan mensupportku, meskipun kini keadaan dan jarak telah memisahkan kami.
    Hidup itu seperti pohon. Pohon dapat tumbuh, bahkan dengan kokohnya, namun tetap saja akan goyah jika tertiup angin. Anggap saja angin itu sebagai masalah dan cobaan. Dan mengapa pohon itu dapat berdiri kokoh? Karena ia memiliki akar yang sangat kuat, mereka yang selalu ada disamping kita, menyemangati kita, ialah akar kehidupan kita. Yang menjadikan diri kita sebagai sosok yang tegar dalam menghadapi berbagai permasalahan, dan berpikir positif pada kehendakNya sehingga akan terciptalah suatu saat nanti Motto hidup yang selama ini menemaniku, Forever living with happines.

Jakarta, 29 Agustus 2014
Nasha Dilia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar