Teruntuk Sahabatku, Fanny Yulispiani di Syurga..
Hai cantik, apa kabar kamu disana? Bahagia bukan? Ya tentu saja. Kamu telah kehilangan beban yang harus kamu tanggung dalam lika liku hidup. Aku disini merindukanmu, merindukan sosok sahabat baik yang tak akan pernah tergantikan sepanjang hidupku.
Entah dengan apa aku bisa menghubungimu ketika rasa rindu dengan segenap kenangan yang telah kita lalui itu hadir menyapa. Dengan pesan singkat? Atau lewat Blackberry Mesenger? Telepon? Mention ke Twitter atau mengirim kangen itu ke Inbox dalam Facebookmu? Aku rasa semua tidak begitu berarti lagi untukmu. Sebuah doa jauh lebih berarti untuk dapat Tuhan sampaikan kepadamu. Aku rindu, sangat rindu. Aku kehilangan.
Rencana Tuhan memang akan selalu berakhir indah. Bukan, bukan aku mensyukuri kepergianmu. Justru aku termasuk seseorang yang sangat tidak menyangka akan kepergianmu yang secepat itu. Tak akan lagi ada tawa, ada pertemuan, bermain bersama, belajar bersama, sharing dan curhat, dan segala hal yang pernah kita lakukan bersama hampir 3 tahun belakangan ini. Rencana Tuhan memang indah, dan itu untuk kamu rasakan sekarang disana. Di tempat orang-orang pilihan Tuhan yang telah dipanggil-Nya.
Aku melihat betapa penyakit itu menyiksa dirimu. Sakit itu melilit isi dalam perutmu, sakit itu menghalang saluran nafasmu, sakit itu mampu menyita waktu tidurmu, sakit itu mampu membuat kakimu membengkak, sakit itu mampu membuat bibir manismu pucat, sakit itu mampu membuat sekujur badanmu dingin sedangkan kamu merasakan suatu hawa yang panas sehingga kamu berkeringat. Ya, itu yang terlihat dan aku rasakan ketika aku berkunjung kerumahmu, 19 Juni 2014 sekitar pukul 3 sore.
Aku terkejut saat melihat keadaanmu yang begitu jatuh. Kamu duduk dengan nafas yang terengah-engah ditengah hangatnya kasih sayang orangtuamu. Aku dan Dewi, yang juga sahabatmu datang terlebih dulu kerumahmu untuk membicarakan rencana hari ulangtahun sahabat kita, Ratih. Sedangkan Dine masih dirumahnya. Kami bertiga akan datang dihari itu sama sekali bukan untuk menjenguk, karena tidak tahu keadaanmu separah itu.
Tapi aku salut dengan apa yang aku lihat terhadapmu saat terakhir pertemuan kita. Kamu masih menyempatkan diri untuk bebicara, dan merencanakan apa yang hendak kita rencanakan meskipun dengan nafas yang terengah-engah. Hanya mulut yang mampu membuat kamu tetap bernafas. Kita masih bercanda pada hari itu, meski keadaan kamu sudah parah, amat parah. Bahkan kamu masih sempat menyuruhku untuk mengganti wallpaper ponsel dengan foto aku dan mantanku.
Kamu masih semangat untuk membicarakan rencana perayaan hari ulang tahun Ratih nanti 28 Juni 2014. Tentang siapa yang membeli kado, siapa yang membeli kue, kapan kita akan melaksanakan surprisenya. Akan hari H kah? Atau satu hari setelah hari ulang tahunnya tiba? Karena kita bingung antara berbuka puasa pertama bareng keluarga atau memberikan surprise itu. Ya, awalnya puasa Ramadhan memang diperkirakan bertepatan pada hari ulang tahun Ratih.
“Kita kan belum pernah ngerayain ultah yang kelewat hari H. Gak enak kalo engga pas sama hari ultahnya. Ayo, jadi fixnya gimana? Kebiasaan deh kalo ngomongin rencana pasti gak ada akhirnya.” Sekilas ucapanmu meski terengah-engah.
“Yaudah kayak gitu aja. Kalo menurut gue sih gitu, kita liat fixnya puasa kapan. Kalo hari H puasa, kita anggap negbuburit aja. Nanti masalah suap-suapan kue terus difoto, ya pura-pura mangap aja. Nanti kuenya kita minta aja ke Ratih dibungkus buat buka puasa. Beres deh.” Usulku, dan mau tidak mau kami menyetujui meskipun entah kedepannya rencana itu akan berubah atau tidak. Satu hal yang disayangkan, Dine tidak akan menghadiri acara ulang tahun itu karena tanggal 20 Juni dia pergi ke Jambi dan pulang setelah Hari Raya Idul Fitri.
Terpelas dari perbincangan ulang tahun Ratih, kita membicarakan keadaanmu. Tanganmu begitu dingin. Lengan baju yang panjang itu dikelintingkan. Aku menggenggam kedua tanganmu secara bergantian kanan dan kiri, berharap bisa memberikan kehangatan. Aku raba lengan tanganmu, sangat dingin. Sesekali kamu batuk agar bisa bernafas sedikit lebih lega, mungkin. Dan tidak sesekali aku menawarkan minum jika kamu terbatuk-batuk.
“Gila dingin banget Fan. Bajunya jangan dikelintingin kalo dingin.” Kataku.
“Gak mau, hareudang del hareudang.” (hareudang: panas, gerah)
“Mau minum, Fan?” Tawarku untuk yang kesekian kalinya ditengah perbincangan kita berempat.
“Enggak Del, yaampun lo nawarin gue minum mulu dari tadi.”
“Gue cuma gak tega liat lo batuk-batuk kayak tadi.”
Sakit maag kronis. Membuatmu tak bisa makan apa yang seharusnya kamu makan agar cepat sembuh. Maag kronis, yang telah merambat ke jantung dan kerap merusak lambungmu. Saus cabai dan saus tomat adalah kegilaanmu. Tidur kelewat malam juga favoritmu. Tak sering makan nasi juga hal yang biasa bagimu. Namun semua itu berhasil membuatmu seperti ini.
“Kalau mau nengok Fanny, bawa tahu jeletot ya yang banyak.” Canda bapak Fanny sepulang dari Biomed mengambil hasil Rontgen.
“Iya pak, nanti dibawain sama bakso plus saus yang banyak, sambel cabenya juga.”
“Ih bapak apaan si?” Kata Fanny.
“Fan, lo makan kek sedikit aja satu suap kek.”
“Enggak mau, kalo makan percuma dimuntahin lagi.”
“Yaudah dirawat dirumah sakit aja biar diinfus. Seenggaknya lo makan lewat air infusan kan?” Kataku.
“Ih apaan, gak mau gue ditusuk jarum. Ini aja bekas ambil darah sakit banget, tuh bekasnya.” Sambil menunjukkan bekasnya. Terlihat merah dan memar.
"Padahal kemaren-kemaren kita baru ngomongin tentang anak SD disuntik itu ya" kata Dine, lalu dewi mengiyakan.
“Oh iya, gue juga tanggal 20 Juni mau balik lagi ke Jakarta. Mau tes kesehatan, di rontgen juga katanya. Itu kita buka baju yah Fan?” Kataku bercerita.
“Iya, semua dibuka nanti kita pake baju khusus gitu.” Nafas yang terengah-engah itu sangat aku rasakan hembusannya mengenai tanganku yang sedari tadi menggenggam tanganmu.
“Fan nanti dirawat aja di Rs. Sari Asih, nanti kita nengok kesana abis nengok kita bakal ke MOS deh.” Canda Dine. (MOS:Mall Of Serang)
“Iya, iya bener tuh nanti kita shopping deh.” Dewi menyambung.
“Ah gamau gue, kalo dirawat di Sari Asih nanti kalian jenguk guenya lama. Ngumpulin duit dulu.” Kita tertawa mendengar pernyataan itu. Memang, kita tinggal di Pandeglang.
Aku salut dan aku bangga terhadap apa yang telah kamu lakukan. Kamu tetap menghargai kami yang telah datang kerumah meski bukan niat menjengukmu. Kamu masih mampu berbincang bahkan bercanda meski keadaan sudah seperti itu. Sesekali kamu pergi keluar kamar untuk meminta bantuan agar Mama mampu membantu memijat. Aku melihat kamu kesakitan. Sangat kesakitan dan tersiksa oleh keadaan itu. Tidur tidak bisa, bersandarpun hanya membuatmu tak bisa bernafas. Hanya mampu duduk dengan sedikit membungkuk. Aku merangkulmu saat terduduk diujung tempat tidur. Akupun ikut merasakan kasih sayang tulus yang Mama berikan untukmu. Kamu selalu bilang bahwa diagnosa Dokter tidak separah itu, kepada Mama. Kamu selalu tetap menyemangati Mama. “Ma, semangat dong. Teteh aja semangat, masa Mama engga?” (Teteh:Kakak Perempuan) Begitu cerita Mama selepas kepergianmu.
Malam hari kudapati pesan singkat bahwa kamu dirawat dirumah sakit, RSUD Berkah. Semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhanmu. Sesekali aku tweeting di twitter untuk menemaniku dalam kegundahan dikeheningan malam itu. “Lo udah bisa tidur belum? Mana mungkin kita disini tidur nyenyak, sedangkan elo? Ya Allah, sembuhin si alay. Angkat penyakitnya. Dia emang bandel, tapi sembuhin ya Allah.” Aku melihat-lihat galeri foto pada malam itu, aku mencari seberapa banyak foto kita berdua dan foto kita bersama Gc <3. Seketika air mataku terjatuh melihat foto kita yang sedang berpelukan, foto kita berdua didalam bus ketika hendak Study Tour, dan aku menangis karena mengingat segenap kenangan bersama foto itu. Dan tak rela jika kamu tak mampu bertahan melawan penyakit itu. Kamu termasuk orang yang jarang sakit. Tapi, kenapa sekalinya sakit separah ini? Keesokan harinya 20 Juni kita siap untuk menjenguk ke rumah sakit. Tapi, ada kabar bahwa kamu dilarikan ke Rs. Sari Asih. Masyaallah, separah apa penyakit itu menyerangmu? Dan akhirnya kita akan menjengukmu tanggal 21 Juni.
Namun kehendak Tuhan lebih kuasa dibanding rencana manusia. Ditengah kehebohan kita akan menjengukmu esok, sebuah panggilan telepon ku jawab dan mengatakan bahwa kamu telah tiada. 20 Juni 2014 sekitar pukul setengah tiga sore. Aku tak kuasa menahan tangis tak percaya, mengapa secepat itu? Kemarin kita masih bercanda, masih berbicara, dan aku masih bisa merasakan desahan nafasmu meski itu terkesan sulit dan terengah. Jika boleh mengadu pada Tuhan, jangan dulu ya Allah, tunggu. Kita mau ketemu Fanny untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya bisa memeluk Mamaku dengan erat saat telah mengetahui kabar itu.
"Kamu yang sabar, kamu yang ikhlas." Lalu aku menghubungi semua sahabat. Terutama Gc. Gc adalah nama persahabatan kita yang sepakat terbentuk pada 10 November 2011 sejak kita menginjak kelas 10. Gc terdiri dari 6 orang, yaitu aku Delia, Dewi, Dine, Fanny, Ratih, dan Ratu.
Setelah menunaikan sholat ashar, aku dan Dewi langsung pergi kerumahmu. Sungguh tak percaya melihat bendera kuning terpasang didepan gang rumahmu. Bendera kepergian sahabat kami? Ya Allah. Haruskah kami mengalami perpisahan abadi ini? Ramai orang bertakziah. Aku tak kuasa menahan tangis saat melihat sekujur tubuh yang terbaring kaku dalam balutan kain mengahadap kiblat ketika hendak masuk rumahmu. Tak kulihat detak jantung yang seolah berdegup dalam sedekap tanganmu. Kamu telah tertidur nyenyak, tak seperti kemarin malam. Lebih tak kuasa saat aku melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya dibelakang kain itu. Mata yang terpejam, kulit putihmu terihat menguning, dan bibir manismu terlihat memucat. Sangat pucat. Ya Allah, itu Fanny? Fanny akan tertidur selamanya? Itu Fanny sahabatku? Fanny sahabat kami? Kami tidak akan bisa bertemu dia lagi dalam nyata? Ya Allah, rasanya aku kemarin masih merasakan nafasnya. Tapi sekarang? Innalillahi wainnailaihi raajiuun.
Aku sedih saat tidak bisa melihatmu dikafani. Pintu rumah ditutup, bahkan gorden pun ditutup. Aku menyesal karena memilih keluar. Aku pikir kami akan tetap dapat melihatnya lewat jendela. Tapi aku tahu, bahwa jika kita berada didalam hanya akan membuat suasana semakin pengap. Begitu banyak yang menyayangimu, sahabat. Aku sangat mengerti keadaan ini. Tapi suatu saat jika aku meninggal dunia, aku ingin sahabatku jangan menangis. Aku ingin sahabatku mendoakanku. Jangan ada yang membiarkan sahabatku tidak melihatku untuk yang terakhir kalinya, jika mereka kuat untuk melihatku untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin mereka ada disaat aku di mandikan, di kafani, di sholatkan, hingga mengantarku untuk dimakamkan.
Akupun menabur bunga cantik, untuk sahabatku cantik yang akan tertidur abadi berawal dari Jumat, 20 Juni 2014. Ini memang rencana indah Allah. Entah kenapa, Dine telah menukarkan tiket ke Jambi dengan pamannya agar berangkat pada tanggal 22 Juni. Dan aku memutuskan untuk tes kesehatan ke Jakarta pada 23 Juni. Lepas dari rencana awal. Mungkin jika hal itu tidak berubah, aku dan Dine tidak akan bisa menemui Fanny untuk terakhir kalinya. Terimakasih, Allah masih menyayangi kami dan memberikan kesempatan terakhir itu. Aku menyeka uraian airmata yang seketika hendak jatuh mengingat apa yang pernah kita lakukan bersama dan apa yang akan kita lakukan tanpa ada lagi sosok kamu ditengah kebersamaan Gc yang selalu kita buat?
Maaf sayang, kami tidak ingin airmata kami memberatkan kepergianmu menuju Syurga Allah. Kami hanya tidak tahu harus bagaimana untuk menepis kerinduan kami terhadapmu? Doa selalu kami panjatkan untuk menemanimu, untuk ketenanganmu, dan kebahagiaanmu disana. Kami mencintaimu, kami menyanyangimu. Kamu orang yang baik, sholehah, dan mengasyikan. Kamu tak akan pernah tergantikan, tak akan pernah kami lupakan. Dan karena itu, kami sangat kehilangan sosokmu. Sosok yang sering kami sebut “Si alay, manusia sinetron, si kempot, si yulis, si farisa, si korban, dan lainnya.”
Ramadhan tahun ini dan seterusnya tidak akan terasa lengkap. Memang kita semua akan berpisah untuk mengejar cita-cita masing-masing. Namun tak akan ada lagi kesempatan untuk bertemu denganmu, kecuali dalam mimpi kami. Karena jiwa kita telah berpisah selamanya. Tapi tidak untuk hati kita.
Teruntuk Fanny sahabat kami, semoga kamu selalu tenang disisi-Nya. Semoga kamu bahagia, karena kamu tidak lagi merasakan beban dalam kehidupan. Semoga amal ibadah kamu selama ini Allah terima. Semoga dosa yang pernah kamu perbuat dengan sengaja ataupun tidak, Allah mengampuninya. Karena Ia Mahapengampun. Semoga disana cahaya atas segala kebaikanmu menerangi jalanmu menuju Syurga. Kami tak bisa apa-apa selain memanjatkan doa Kepada Allah teruntuk kamu, sahabat kami. Kami juga tak bisa apa-apa selain mengenangmu, dan sesekali mengunjungi makammu dikala waktu senggang. Kami berjanji, akan berusaha semaksimal mungkin agar kelak kami menjadi orang yang sukses. Kesuksesan kami kelak bukan hanya untuk Keluarga, dan saudara saja tetapi juga untukmu, sahabat sejati Kami.
Pertemuan kita memang singkat. Tiga tahun saja belum genap. Tapi selama duduk di bangku SMA mengenalmu itu lebih dari sekedar indah. Kita sering menghabiskan waktu bersama disetiap momentnya. Hal itu yang mungkin tak akan pernah terlupa. Gc akan tetap bersama selamanya, sekalipun maut telah memisahkan. Itulah rencana indah Tuhan. Allah sangat menyayangi Fanny, maka dari itu Allah mengutus malaikat untuk menjemputnya lebih dulu dibanding kami. Karena mungkin jika Fanny bertahan, ia akan tersiksa dan menderita akan penyakit yang menderanya.
Kami menyayangimu. Akan selalu menyayangimu sahabat..
Entah dengan apa aku bisa menghubungimu ketika rasa rindu dengan segenap kenangan yang telah kita lalui itu hadir menyapa. Dengan pesan singkat? Atau lewat Blackberry Mesenger? Telepon? Mention ke Twitter atau mengirim kangen itu ke Inbox dalam Facebookmu? Aku rasa semua tidak begitu berarti lagi untukmu. Sebuah doa jauh lebih berarti untuk dapat Tuhan sampaikan kepadamu. Aku rindu, sangat rindu. Aku kehilangan.
Rencana Tuhan memang akan selalu berakhir indah. Bukan, bukan aku mensyukuri kepergianmu. Justru aku termasuk seseorang yang sangat tidak menyangka akan kepergianmu yang secepat itu. Tak akan lagi ada tawa, ada pertemuan, bermain bersama, belajar bersama, sharing dan curhat, dan segala hal yang pernah kita lakukan bersama hampir 3 tahun belakangan ini. Rencana Tuhan memang indah, dan itu untuk kamu rasakan sekarang disana. Di tempat orang-orang pilihan Tuhan yang telah dipanggil-Nya.
Aku melihat betapa penyakit itu menyiksa dirimu. Sakit itu melilit isi dalam perutmu, sakit itu menghalang saluran nafasmu, sakit itu mampu menyita waktu tidurmu, sakit itu mampu membuat kakimu membengkak, sakit itu mampu membuat bibir manismu pucat, sakit itu mampu membuat sekujur badanmu dingin sedangkan kamu merasakan suatu hawa yang panas sehingga kamu berkeringat. Ya, itu yang terlihat dan aku rasakan ketika aku berkunjung kerumahmu, 19 Juni 2014 sekitar pukul 3 sore.
Aku terkejut saat melihat keadaanmu yang begitu jatuh. Kamu duduk dengan nafas yang terengah-engah ditengah hangatnya kasih sayang orangtuamu. Aku dan Dewi, yang juga sahabatmu datang terlebih dulu kerumahmu untuk membicarakan rencana hari ulangtahun sahabat kita, Ratih. Sedangkan Dine masih dirumahnya. Kami bertiga akan datang dihari itu sama sekali bukan untuk menjenguk, karena tidak tahu keadaanmu separah itu.
Tapi aku salut dengan apa yang aku lihat terhadapmu saat terakhir pertemuan kita. Kamu masih menyempatkan diri untuk bebicara, dan merencanakan apa yang hendak kita rencanakan meskipun dengan nafas yang terengah-engah. Hanya mulut yang mampu membuat kamu tetap bernafas. Kita masih bercanda pada hari itu, meski keadaan kamu sudah parah, amat parah. Bahkan kamu masih sempat menyuruhku untuk mengganti wallpaper ponsel dengan foto aku dan mantanku.
Kamu masih semangat untuk membicarakan rencana perayaan hari ulang tahun Ratih nanti 28 Juni 2014. Tentang siapa yang membeli kado, siapa yang membeli kue, kapan kita akan melaksanakan surprisenya. Akan hari H kah? Atau satu hari setelah hari ulang tahunnya tiba? Karena kita bingung antara berbuka puasa pertama bareng keluarga atau memberikan surprise itu. Ya, awalnya puasa Ramadhan memang diperkirakan bertepatan pada hari ulang tahun Ratih.
“Kita kan belum pernah ngerayain ultah yang kelewat hari H. Gak enak kalo engga pas sama hari ultahnya. Ayo, jadi fixnya gimana? Kebiasaan deh kalo ngomongin rencana pasti gak ada akhirnya.” Sekilas ucapanmu meski terengah-engah.
“Yaudah kayak gitu aja. Kalo menurut gue sih gitu, kita liat fixnya puasa kapan. Kalo hari H puasa, kita anggap negbuburit aja. Nanti masalah suap-suapan kue terus difoto, ya pura-pura mangap aja. Nanti kuenya kita minta aja ke Ratih dibungkus buat buka puasa. Beres deh.” Usulku, dan mau tidak mau kami menyetujui meskipun entah kedepannya rencana itu akan berubah atau tidak. Satu hal yang disayangkan, Dine tidak akan menghadiri acara ulang tahun itu karena tanggal 20 Juni dia pergi ke Jambi dan pulang setelah Hari Raya Idul Fitri.
Terpelas dari perbincangan ulang tahun Ratih, kita membicarakan keadaanmu. Tanganmu begitu dingin. Lengan baju yang panjang itu dikelintingkan. Aku menggenggam kedua tanganmu secara bergantian kanan dan kiri, berharap bisa memberikan kehangatan. Aku raba lengan tanganmu, sangat dingin. Sesekali kamu batuk agar bisa bernafas sedikit lebih lega, mungkin. Dan tidak sesekali aku menawarkan minum jika kamu terbatuk-batuk.
“Gila dingin banget Fan. Bajunya jangan dikelintingin kalo dingin.” Kataku.
“Gak mau, hareudang del hareudang.” (hareudang: panas, gerah)
“Mau minum, Fan?” Tawarku untuk yang kesekian kalinya ditengah perbincangan kita berempat.
“Enggak Del, yaampun lo nawarin gue minum mulu dari tadi.”
“Gue cuma gak tega liat lo batuk-batuk kayak tadi.”
Sakit maag kronis. Membuatmu tak bisa makan apa yang seharusnya kamu makan agar cepat sembuh. Maag kronis, yang telah merambat ke jantung dan kerap merusak lambungmu. Saus cabai dan saus tomat adalah kegilaanmu. Tidur kelewat malam juga favoritmu. Tak sering makan nasi juga hal yang biasa bagimu. Namun semua itu berhasil membuatmu seperti ini.
“Kalau mau nengok Fanny, bawa tahu jeletot ya yang banyak.” Canda bapak Fanny sepulang dari Biomed mengambil hasil Rontgen.
“Iya pak, nanti dibawain sama bakso plus saus yang banyak, sambel cabenya juga.”
“Ih bapak apaan si?” Kata Fanny.
“Fan, lo makan kek sedikit aja satu suap kek.”
“Enggak mau, kalo makan percuma dimuntahin lagi.”
“Yaudah dirawat dirumah sakit aja biar diinfus. Seenggaknya lo makan lewat air infusan kan?” Kataku.
“Ih apaan, gak mau gue ditusuk jarum. Ini aja bekas ambil darah sakit banget, tuh bekasnya.” Sambil menunjukkan bekasnya. Terlihat merah dan memar.
"Padahal kemaren-kemaren kita baru ngomongin tentang anak SD disuntik itu ya" kata Dine, lalu dewi mengiyakan.
“Oh iya, gue juga tanggal 20 Juni mau balik lagi ke Jakarta. Mau tes kesehatan, di rontgen juga katanya. Itu kita buka baju yah Fan?” Kataku bercerita.
“Iya, semua dibuka nanti kita pake baju khusus gitu.” Nafas yang terengah-engah itu sangat aku rasakan hembusannya mengenai tanganku yang sedari tadi menggenggam tanganmu.
“Fan nanti dirawat aja di Rs. Sari Asih, nanti kita nengok kesana abis nengok kita bakal ke MOS deh.” Canda Dine. (MOS:Mall Of Serang)
“Iya, iya bener tuh nanti kita shopping deh.” Dewi menyambung.
“Ah gamau gue, kalo dirawat di Sari Asih nanti kalian jenguk guenya lama. Ngumpulin duit dulu.” Kita tertawa mendengar pernyataan itu. Memang, kita tinggal di Pandeglang.
Aku salut dan aku bangga terhadap apa yang telah kamu lakukan. Kamu tetap menghargai kami yang telah datang kerumah meski bukan niat menjengukmu. Kamu masih mampu berbincang bahkan bercanda meski keadaan sudah seperti itu. Sesekali kamu pergi keluar kamar untuk meminta bantuan agar Mama mampu membantu memijat. Aku melihat kamu kesakitan. Sangat kesakitan dan tersiksa oleh keadaan itu. Tidur tidak bisa, bersandarpun hanya membuatmu tak bisa bernafas. Hanya mampu duduk dengan sedikit membungkuk. Aku merangkulmu saat terduduk diujung tempat tidur. Akupun ikut merasakan kasih sayang tulus yang Mama berikan untukmu. Kamu selalu bilang bahwa diagnosa Dokter tidak separah itu, kepada Mama. Kamu selalu tetap menyemangati Mama. “Ma, semangat dong. Teteh aja semangat, masa Mama engga?” (Teteh:Kakak Perempuan) Begitu cerita Mama selepas kepergianmu.
Malam hari kudapati pesan singkat bahwa kamu dirawat dirumah sakit, RSUD Berkah. Semalaman aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhanmu. Sesekali aku tweeting di twitter untuk menemaniku dalam kegundahan dikeheningan malam itu. “Lo udah bisa tidur belum? Mana mungkin kita disini tidur nyenyak, sedangkan elo? Ya Allah, sembuhin si alay. Angkat penyakitnya. Dia emang bandel, tapi sembuhin ya Allah.” Aku melihat-lihat galeri foto pada malam itu, aku mencari seberapa banyak foto kita berdua dan foto kita bersama Gc <3. Seketika air mataku terjatuh melihat foto kita yang sedang berpelukan, foto kita berdua didalam bus ketika hendak Study Tour, dan aku menangis karena mengingat segenap kenangan bersama foto itu. Dan tak rela jika kamu tak mampu bertahan melawan penyakit itu. Kamu termasuk orang yang jarang sakit. Tapi, kenapa sekalinya sakit separah ini? Keesokan harinya 20 Juni kita siap untuk menjenguk ke rumah sakit. Tapi, ada kabar bahwa kamu dilarikan ke Rs. Sari Asih. Masyaallah, separah apa penyakit itu menyerangmu? Dan akhirnya kita akan menjengukmu tanggal 21 Juni.
Namun kehendak Tuhan lebih kuasa dibanding rencana manusia. Ditengah kehebohan kita akan menjengukmu esok, sebuah panggilan telepon ku jawab dan mengatakan bahwa kamu telah tiada. 20 Juni 2014 sekitar pukul setengah tiga sore. Aku tak kuasa menahan tangis tak percaya, mengapa secepat itu? Kemarin kita masih bercanda, masih berbicara, dan aku masih bisa merasakan desahan nafasmu meski itu terkesan sulit dan terengah. Jika boleh mengadu pada Tuhan, jangan dulu ya Allah, tunggu. Kita mau ketemu Fanny untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya bisa memeluk Mamaku dengan erat saat telah mengetahui kabar itu.
"Kamu yang sabar, kamu yang ikhlas." Lalu aku menghubungi semua sahabat. Terutama Gc. Gc adalah nama persahabatan kita yang sepakat terbentuk pada 10 November 2011 sejak kita menginjak kelas 10. Gc terdiri dari 6 orang, yaitu aku Delia, Dewi, Dine, Fanny, Ratih, dan Ratu.
Setelah menunaikan sholat ashar, aku dan Dewi langsung pergi kerumahmu. Sungguh tak percaya melihat bendera kuning terpasang didepan gang rumahmu. Bendera kepergian sahabat kami? Ya Allah. Haruskah kami mengalami perpisahan abadi ini? Ramai orang bertakziah. Aku tak kuasa menahan tangis saat melihat sekujur tubuh yang terbaring kaku dalam balutan kain mengahadap kiblat ketika hendak masuk rumahmu. Tak kulihat detak jantung yang seolah berdegup dalam sedekap tanganmu. Kamu telah tertidur nyenyak, tak seperti kemarin malam. Lebih tak kuasa saat aku melihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya dibelakang kain itu. Mata yang terpejam, kulit putihmu terihat menguning, dan bibir manismu terlihat memucat. Sangat pucat. Ya Allah, itu Fanny? Fanny akan tertidur selamanya? Itu Fanny sahabatku? Fanny sahabat kami? Kami tidak akan bisa bertemu dia lagi dalam nyata? Ya Allah, rasanya aku kemarin masih merasakan nafasnya. Tapi sekarang? Innalillahi wainnailaihi raajiuun.
Aku sedih saat tidak bisa melihatmu dikafani. Pintu rumah ditutup, bahkan gorden pun ditutup. Aku menyesal karena memilih keluar. Aku pikir kami akan tetap dapat melihatnya lewat jendela. Tapi aku tahu, bahwa jika kita berada didalam hanya akan membuat suasana semakin pengap. Begitu banyak yang menyayangimu, sahabat. Aku sangat mengerti keadaan ini. Tapi suatu saat jika aku meninggal dunia, aku ingin sahabatku jangan menangis. Aku ingin sahabatku mendoakanku. Jangan ada yang membiarkan sahabatku tidak melihatku untuk yang terakhir kalinya, jika mereka kuat untuk melihatku untuk yang terakhir kalinya. Aku ingin mereka ada disaat aku di mandikan, di kafani, di sholatkan, hingga mengantarku untuk dimakamkan.
Akupun menabur bunga cantik, untuk sahabatku cantik yang akan tertidur abadi berawal dari Jumat, 20 Juni 2014. Ini memang rencana indah Allah. Entah kenapa, Dine telah menukarkan tiket ke Jambi dengan pamannya agar berangkat pada tanggal 22 Juni. Dan aku memutuskan untuk tes kesehatan ke Jakarta pada 23 Juni. Lepas dari rencana awal. Mungkin jika hal itu tidak berubah, aku dan Dine tidak akan bisa menemui Fanny untuk terakhir kalinya. Terimakasih, Allah masih menyayangi kami dan memberikan kesempatan terakhir itu. Aku menyeka uraian airmata yang seketika hendak jatuh mengingat apa yang pernah kita lakukan bersama dan apa yang akan kita lakukan tanpa ada lagi sosok kamu ditengah kebersamaan Gc yang selalu kita buat?
Maaf sayang, kami tidak ingin airmata kami memberatkan kepergianmu menuju Syurga Allah. Kami hanya tidak tahu harus bagaimana untuk menepis kerinduan kami terhadapmu? Doa selalu kami panjatkan untuk menemanimu, untuk ketenanganmu, dan kebahagiaanmu disana. Kami mencintaimu, kami menyanyangimu. Kamu orang yang baik, sholehah, dan mengasyikan. Kamu tak akan pernah tergantikan, tak akan pernah kami lupakan. Dan karena itu, kami sangat kehilangan sosokmu. Sosok yang sering kami sebut “Si alay, manusia sinetron, si kempot, si yulis, si farisa, si korban, dan lainnya.”
Ramadhan tahun ini dan seterusnya tidak akan terasa lengkap. Memang kita semua akan berpisah untuk mengejar cita-cita masing-masing. Namun tak akan ada lagi kesempatan untuk bertemu denganmu, kecuali dalam mimpi kami. Karena jiwa kita telah berpisah selamanya. Tapi tidak untuk hati kita.
Teruntuk Fanny sahabat kami, semoga kamu selalu tenang disisi-Nya. Semoga kamu bahagia, karena kamu tidak lagi merasakan beban dalam kehidupan. Semoga amal ibadah kamu selama ini Allah terima. Semoga dosa yang pernah kamu perbuat dengan sengaja ataupun tidak, Allah mengampuninya. Karena Ia Mahapengampun. Semoga disana cahaya atas segala kebaikanmu menerangi jalanmu menuju Syurga. Kami tak bisa apa-apa selain memanjatkan doa Kepada Allah teruntuk kamu, sahabat kami. Kami juga tak bisa apa-apa selain mengenangmu, dan sesekali mengunjungi makammu dikala waktu senggang. Kami berjanji, akan berusaha semaksimal mungkin agar kelak kami menjadi orang yang sukses. Kesuksesan kami kelak bukan hanya untuk Keluarga, dan saudara saja tetapi juga untukmu, sahabat sejati Kami.
Pertemuan kita memang singkat. Tiga tahun saja belum genap. Tapi selama duduk di bangku SMA mengenalmu itu lebih dari sekedar indah. Kita sering menghabiskan waktu bersama disetiap momentnya. Hal itu yang mungkin tak akan pernah terlupa. Gc akan tetap bersama selamanya, sekalipun maut telah memisahkan. Itulah rencana indah Tuhan. Allah sangat menyayangi Fanny, maka dari itu Allah mengutus malaikat untuk menjemputnya lebih dulu dibanding kami. Karena mungkin jika Fanny bertahan, ia akan tersiksa dan menderita akan penyakit yang menderanya.
Kami menyayangimu. Akan selalu menyayangimu sahabat..
Pandeglang, 07 Juli 2014
Ratu, Dewi, Ratih, Delia, Dine, Fanny (14 Juni 2014) |
Fanny, Delia, Dewi, Dine, Ratih, Ratu (21 Januari 2013) |
Ini sms buat Fanny tanggal 19 Juni 2014 |
Ini pas Delia, Dine, Dewi, mau kerumah Fanny 19 Juni |
Ini BBM yang pernah Fanny kirim, faktanya berbalik ke dia :" |
Terkadang, aku merasa lelah akan hidup, aku hanya ingin tidur selamanya dan melupakan semua masalahku :" |
Kamu juga bobo nyenyak Fann :") |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar